Jember, Jawa Timur (ANTARA) – Kasus kekerasan terhadap anak masih saja terus terjadi dan pelakunya sebagian besar adalah orang terdekat korban, seperti yang terjadi di Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Seorang ayah berinisial EW (41) warga Desa/Kecamatan Sukorambi tega menyekap anaknya MI (12) dan memborgol tangan-kakinya dengan borgol besi di sebuah kandang ayam rumahnya pada Sabtu (11/1) dengan dalih agar anaknya tidak kabur meninggalkan rumah.
Tidak hanya itu, ayah kandung tersebut melepas semua pakaian si anak dan mengikatnya dengan menggunakan tali ban di sebuah tiang yang berada di dalam kandang ayam.
Setelah MI disekap dan diborgol dengan kondisi telanjang di kandang ayam, si ayah mengunci kandang ayam tersebut dari luar dan meninggalkannya, kemudian EW membantu istri mudanya berjualan di pasar tradisional di kawasan kota yakni di Pasar Tanjung Jember.
Saat ayahnya meninggalkan rumah, MI berusaha untuk kabur dengan memotong tali ban yang mengikat tubuhnya dengan menyalakan sebuah kompor gas yang berada di sekitar kandang hingga tali ban tersebut bisa putus.
Setelah berhasil melepas ikatan itu, kemudian si anak keluar kandang ayam tersebut dari ventilasi kandang dan memanjat pagar untuk kabur ke luar rumah dengan kondisi jempol tangan kanannya dan kaki kirinya masih terborgol.
Sambil menutupi kemaluannya, MI yang tidak mengenakan pakaian itu berlari meninggalkan rumahnya dan mendatangi rumah tetangganya Pak Baidi untuk meminjam baju untuk dipakainya.
Setelah agak tenang, ia pun menceritakan kejadian yang menimpanya, sehingga Pak Baidi merasa iba dan mengantarkan anak tersebut untuk melaporkan kasus kekerasan itu kepada Sub-Koramil Sukorambi dan laporan tersebut diteruskan ke Polsek Sukorambi.
Polsek Sukorambi setelah mendapat laporan itu akhirnya bergerak untuk memroses kasus kekerasan kepada anak dan mengamankan EW bersama barang bukti yang ditemukan di dalam kandang ayam dan rumahnya.
Sementara Kapolres Jember AKBP Alfian Nurrizal mengatakan Polres Jember menetapkan EW warga Desa Sukorambi sebagai tersangka kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Kabupaten Jember.
Berdasarkan keterangan yang didapatkan penyidik, korban MI mendapat perlakuan kekerasan fisik oleh ayah kandungnya dengan cara dipukul degan tangan, kemudian diikat dengan menggunakan tali ban yang panjang, jari jempol diborgol dan pergelangan kaki juga diborgol di tiang kandang ayam, selanjutnya dikunci dari luar oleh EW.
Alfian mengatakan kejadian tersebut berawal dari korban yang menjadi anak broken home dan sering melakukan tindakan yang tidak baik untuk mendapatkan uang yang digunakan untuk main game online, sehingga ayahnya merasa kesal dengan sikap anaknya yang tidak menurut tersebut.
Ia mengatakan penyekapan tersebut terjadi pada Sabtu (11/1) saat EW menghubungi Salma yang merupakan pengasuh anaknya, namun anaknya tidak ada dan ditemukan bermain game online di sebuah warnet di Jalan Riau.
Saat dipanggil untuk pulang, MI tidak kunjung keluar dari warung internet, sehingga tersangka EW menarik tangan anaknya untuk keluar dan melakukan tindakan kekerasan fisik hingga korban berada di rumahnya di Desa/Kecamatan Sukorambi.
Berdasarkan keterangan EW, ia melakukan pemukulan sebanyak dua kali dengan tangan kiri dan satu kali dengan tangan kanan, kemudian MI juga ditendang dengan lutut kaki kanan mengenai perut dan paha.
Alfian mengatakan barang bukti yang diamankan dari rumah tersangka yakni karet ban, borgol kecil, dan borgol besar, sehingga Polres Jember menetapkan EW sebagai tersangka atas kasus kekerasan dalam rumah tangga.
EW dijerat dengan pasal 44 junto pasal 5 Undang-Umdang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004 dengan ancaman hukumannya paling lama 5 tahun penjara.
"Motif tersangka menyekap anaknya karena kesal dengan tingkah laku korban yang susah dinasehati karena berdasarkan pengakuan tersangka, korban sering mencuri uang dan ponsel untuk bermain game online," tuturnya.
EW merupakan residivis yang pernah menjalani hukuman selama empat bulan penjara pada 2009 dalam kasus yang sama yakni KDRT dan yang menjadi korban adalah istrinya atau ibu kandung MI.
Kini pelaku penyekapan tersebut harus kembali mendekam di balik jeruji besi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang tega melakukan kekerasan terhadap anaknya dengan menyekap, memborgol, dan menelanjangi korban di dalam kandang ayam.
Pemulihan trauma korban kekerasan
Kekerasan yang dialami MI tentu menimbulkan rasa trauma yang sangat mendalam, bahkan sehari pascakejadian itu, korban sempat menutup diri dan tidak mau berbicara kepada orang yang tidak dikenalnya karena masih trauma.
Untuk itu, pekerja sosial Dinas Sosial Jember, Pusat Perlindungan Terpadu (PPT), Polres Jember, dan Dinas Pemberdayaan, Perempuan, Perlindungan Anak dan KB (DP3AKB) akan melakukan pendampingan secara berkelanjutan terhadap korban untuk memulihkan trauma.
Kasi Advokasi dan Perlindungan Anak DP3AKB Jember Artiantyo Wiryo Utomo mengatakan pihaknya akan melakukan pendampingan korban selama menjalani proses hukum dan akan memberikan bantuan dukungan psikologis untuk MI, agar anak tersebut tidak trauma ke depannya.
Pihaknya juga akan melihat persoalan apa yang dihadapinya dan apabila diperlukan pengobatan psikologi karena dia kecanduan game online seperti yang disampaikan ayahnya, maka akan diberikan pendampingan psikolog untuknya.
"Korban kekerasan harus mendapatkan pemulihan trauma, agar MI tidak mengalami trauma atas tindakan kekerasan yang terjadi padanya dan melalui trauma healing diharapkan korban tidak meniru perbuatan kekerasan yang terjadi padanya," katanya.
Ia menjelaskan MI adalah anak korban broken home, sehingga dia harus tetap mendapatkan hak-haknya sebagai anak dan pihaknya juga akan bekerja sama dengan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Jember, apabila dibutuhkan nantinya.
Ia mengimbau kepada orang tua untuk tidak melakukan kekerasan terhadap anak saat anak yang bersangkutan melakukan kesalahan karena dapat menimbulkan rasa trauma kepada anak dan masih banyak cara yang bisa dilakukan untuk menasehati anak tersebut.
Sementara pekerja sosial perlindungan anak Dinas Sosial Jember Agus Wahyu mengatakan pihaknya akan melakukan pendampingan terhadap korban karena anak tersebut berhadap dengan hukum, sehingga pendampingan dilakukan baik di kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan.
Menurutnya korban harus mendapatkan hak-hak anak sepenuhnya dan pendampingan psikososial anak, apabila memerlukan perlindungan khusus maka ia siap memberikan pendampingan dan trauma healing.
Kepada pekerja sosial ini, MI mengaku sering kali mendapat kekerasan dari ayahnya dan tidak bisa menghitung sudah berapa kali kekerasan yang dilakukan ayahnya. Menurut pengakuan korban juga, ia tidak pernah mencuri uang dan telepon genggam karena menurutnya hanya kesalapahaman saja yang terjadi.
Berdasarkan kasus-kasus kekerasan yang ditangani Dinsos, Agus mengatakan penyebab kekerasan terhadap anak di antaranya ketidaksabaran orang tua pada tingkah laku/ perilaku anak yang dianggap melanggar norma atau aturan yang sudah ditetapkan oleh orang tua, kemudian budaya yang sudah turun temurun bahwa dengan melakukan kekerasan fisik maupun psikis pada anak maka anak akan menjadi penurut.
Selain itu, masalah ekonomi, pekerjaan, relasi, yang pada saat itu tidak sesuai dengan yang diharapkan, kemudian anak menjadi pelampiasan kekerasan fisik/ psikis, dan penyebab lainnya yakni ketidaktahuan orang tua dalam menangani anak yang susah diatur, ortu juga tidak tahu dimana lembaga/dinas tempat berkonsultasi terkait penanganan anak yang susah diatur tersebut.
"Alasan menghukum anak dengan menggunakan cara-cara kekerasan dengan dalih memberi pelajaran bukan cara yang benar karena kekerasan pada anak merupakan luka hati yang akan membekas di jiwa anak hingga masa-masa pertumbuhan selanjutnya, sehingga akan berdampak pada masa depan anak," ujarnya.
Berdasarkan data di Dinsos selama Januai-Desember 2019 tercatat anak yang mengalami kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis baik anak berhadapan dengan hukum maupun anak yang memerlukan perlindungan khusus tercatat sebanyak 73 kasus yang ditangani.